Delapan Perempuan Berpuisi

Standard

Dimuat di: http://www.bintannews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3674:delapan-perempuan-berpuisi&catid=86:bintan&Itemid=266

Yogyakarta Komunitas Mari Membaca Puisi Indonesia (MMPI) menghadirkan “delapan perempuan hebat” untuk membacakan puisi sempena memperingati Hari Kartini tahun 2011 di Gedung Perpustakaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Sabtu (23/04) malam. Salah satu dari 8 perempuan yang diundang
itu, adalah Suryatati A. Manan, Walikota Tanjungpinang.

”]

Kegiatan yang dikemas oleh MMPI tersebut, malam itu benar-benar bernafaskan penguatan Perempuan dalam peran sosialnya. Pemandu acara malam itu, Labibah Zain, yang juga merupakan pengajar di UIN Sunan Kalijaga, mengungkapkan, bahwa Jenis Kelamin bukanlah permasalahan gender.

“yang perlu dioptimalkan adalah peran sosial perempuan di lingkungannya, termasuk dalam jabata publik,” tutur Labibah.

Menurutnya Bila sebelumnya kegiatan yang dilaksanakan MMPI bertemakan “poetry of love”, lalu pernah juga “potry of laugh”, “poetry withoiut borders” maka pada malam itu sempena hari Karitini temanya adalah “women and poetry”.  “ Untuk itu Kami menghadirkan 8 perempuan hebat, baik dari pejabat publik ataupun sastrawan-sastrawan untuk tampil menguasai panggung malam ini,” tutur Labibah.

Selain Suryatati, hadir membaca puisi malam itu antara lain : Esti Wijayanti (Anggota DPRD Prov. DIY), Yuni Setia Rahayu (Wakil Bupati Sleman), Yani Sapto Hudoyo (Budayawan, istri alm. Sapto Hudoyo), Abidah El Haliki (Novelis), Ulfatin CH (Sastrawan), Evi Diawati (Penyair), Nor Wahidah Idris (Penyair), Evi  Idawati (Pesinetron, Novelis).

Suryatati yang tampil pada urutan ke tiga pembaca malam itu,membacakan beberapa puisi karyanya, antara lain “lelaki”, “Janji-Janji” dan “Janda”.

Tampil berbeda dengan pembaca lainnya, Suryatati terlihat lebih atraktif dan membangun dialog dengan
pengunjung yang memenuhi ruang teatrikal gedung Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga. Terlebih saat ia membaca puisi “lelaki”, Rektor UIN, Prof.Dr. Amin Abdullah yang turut hadir, tertawa lebar saat Suryatati
membaca bait demi bait puisinya.

Penampil yang menjadi pehatian lainnya pada malam itu adalah Abidah El Haliki, seorang Novelis yang salah satu karyanya yakni “perempuan berkalung sorban” telah diangkat dalam layar lebar tersebut,
membacakan penggalan-penggalan pemberontakan perempuan aceh dalam nivel terbarunya. Dengan penghayatan yang penuh, meskipun hanya sebagian kecil dari noveknya yang tebal, ia mampu menghadirkan nuansa makna novelnya dalam puisi yang dibacakan.

Selain itu, Yuni Setia Rahayu (Wakil Bupati Sleman) yang membacakan puisi “ibu” serta puisi “Sajak Sebatang Lisong” Karya WS Rendra, terlihat begitu menghayati puisi dibacakannya secara lembut.

Pemandu acara yang merupakan pendiri MMPI, Labibah, dalam menutup pagelaran itu, secara kocak menyampaikan bahwa pada hari Kartini tahun ini, ia banyak menerima SMS mengucapkan Selamat Hari Kartini.

“Tapi selalu di embel-embeli dengan ungkapan jangan melupakan kodrat,”tuturnya.

Padahal menurutnya, Peran sosial tidak ada hubungannya dengan Kodrat. Dengan bergurau ia berujar, kalaulah memang perempuan itu dikodratkan memasak, pasti sejak lahir dia sudah membawa wajan,”
tuturnya disambut gelak tawa pengunjung. Diakhir ucapannya, ia mengatakan bahwa Perempuan Adalah Ibu Peradaban. “Maka Berbuat baiklah kepada perempuan disekitar Anda,” Tutur Labibah.Humas Pemko

Wakil Bupati Sleman Baca Puisi di UIN

Standard

Bupati Sleman

YOGYA, TRIBUN – Lembaga Mari Membaca Puisi Indonesia (MMPI) menghadirkan Delapan perempuan hebat untuk membacakan puisi dalam rangka memperingati Hari Kartini di gedung Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, Sabtu (23/04), malam.

Mereka diantaranya, Yuni Setyarahayu Wakil Bupati Sleman, Yani Saptohudoyo, Esti Wijayanti DPRD Provinsi Yogya, Surya Tati Walikota Tanjung Pinang, Abidah el Haliki, Efi Ida Wati, Nur Wahidah Idris.
Mendapatkan giliran ke dua, Yuni Setyarahayu Wakil Bupati Sleman, membacakan puisi berjudul “Ibu” Karya D Zawawi Imron dan puisi karya WS. Rendra.
Suara orang nomor dua di Kabupaten Sleman itu, terdengar cukup lembut tapi mengena, Ditambah lagi, tema puisi yang dibacakan berisi soal ketegaran seorang ibu mampu buat suasana gedung makin sunyi.
“Kalo aku merantau lalu datang musim kemarau, Hanya mata air, air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir bila aku merantau,”katanya.
Sementara itu, Aly D musyrifa, Direktur Umum MMPI mengatakan, acara membaca puisi merupakan program reguler yang dilaksanakan setiap bulan pada sabtu malam pada Minggu ketiga. (*)

8 Kartini Membaca Indonesia

Standard

Dimuat di: http://maharatu.com/news/detail/id/830/8%20Kartini%20Membaca%20Indonesia

Labibah Zein

Sleman, Jogjatrip.com – Baca puisi dengan santai memang enak. Tidak perlu gaya tapi intonasi terjaga dan menjiwai ruh puisi sendiri. Itulah yang dilakukan MMPI (Mari Membaca Puisi Indonesia), lembaga nirbaya yang didirikan di Yogyakarta 28 Oktober 2010. Lembaga yang bergerak dibidang kebudayaan, pendidikan dan kesenian ini khusus apresiasi serta sosialisasi puisi Indonesia. Dan memperingati Hari Kartini, MMPI yang biasa pentas di Black Stone Coffe, Sabtu (23/4) malam menggelar pentas baca puisi dengan tajuk ‘8 Kartini Membaca Indonesia’ di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.

”]Delapan wanita yang baca puisi 4 dari kalangan pejabat dan pengusaha dan 4 penyair wanita. Mereka adalah Yuni Satia Rahayu, Wakil Bupati Sleman, Suryatati A Manan, Walikota Tanjungpinang, Esti Wijayati, anggota DPRD DIY, Yani Sapto Hudoyo, pengusaha, Ulfatin Ch, Abidah El Khaliqy, Nor Wahidah Idris dan Evi Idawati. Gelar baca puisi itu dimeriahkan oleh musik dari Giana Sudayano yang biasa bergabung dengan Sawung Jabo.

Dari para Kartini yang baca puisi itu, pembawaan Esti Wijayati, Suryatati dan Evi Idawati sangat menarik. Mereka mampu menyihir para penonton dengan gayanya tersendiri. Esti yang mengenakan baju merah, membacakan puisi Taufiq Ismail ‘Kembalikan Indonesiaku’ dengan lantang dan vokal yang mantap. Kadang-kadang tangannya mengepal keatas atau kedepan. Ia seperti aktor teater yang sudah mapan. Lain halnya dengan Suryatati. Walikota yang pernah menerbitkan kumpulan puisi ‘Melayukah Aku’ tampil dengan santai. Puisi karya sendiri yang ditulis tangan itu sangat sederhana, tapi menghujam kedalam dengan kritikan penuh canda. Maka tak mengherankan penontonsering tertawa dengan isi puisi Suryatati. Mengenakan kebaya hijau tua dan kerudung hijau daun, penampilan Suryatati untuk menambah lagi puisi yang dibacanya. Dan penampilan Evi Idawati, yang sering tampil di berbagai daerah, mendapat aplus dari penonton.

Gelar ‘8 Kartini Membaca Indonesia’ yang diusung oleh MMPI, Teater Eska dan Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga sangat hidup karena dipandu oleh Labibah Zain yang bisa mencairkan suasana. Labibah pandai memilih kata-kata untuk masuk dalam persoalan puisi. Menurut Labibah, acara MMPI digelar tiap bulan pada hari Sabtu minggu ke tiga. “Acara MMPI dimulai sejak Januari 2011,” ujar Labibah.*** (Teguh R Asmara)

Membaca Indonesia Lewat Puisi

Standard

Dimuat di: http://bataviase.co.id/node/642056

Momen penting memperingati emansipasi perempuan Indonesia melalui Hari Kartini ditangkap seniman Yogyakarta lewat pembacaan puisi dan penampilan kesenian lainnya.

Furqon Ulya Himawan

Abidah El Khalieqie

BANYAK cara yang dilakukan masyarakat Indonesia untuk memperingati Hari Kartini yang jatuh pada 21 April nanti. Tak ketinggalan, para seniman serta sastrawan Yogyakarta, yang tergabung dalam lembaga Mari Membaca Puisi Indonesia (MMPI), pun akan menggelar Malam Kartini Membaca Indonesia. “MMPI setiap bulan selalu melakukan apresiasi puisi, dan pada bulan ini (April) kami ingin sekaligus memperingati Hari Kartini,” kata Dono Fathurrahman, Direktur Pelaksana MMPI.

Melalui jargonnya, poein is fun, atau santai membaca dalam membaca puisi, MMPI dalam peringatan Hari Kartini nanti ingin menggali nilai-nilai kesetaraan gender dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah upaya emansipasi kesederajatan yang terus diupayakan untuk membangun perempuan Indonesia lebih mandiri.

Sebenarnya banyak sekali bentuk ekspresi seni dalam khazanah kebudayaan di Indonesia yang selalu hadir secara bersamaan dengan spirit kebangsaan. Pun MMPI, kata Dono, yang merupakan kumpulan para seniman serta sastrawan Yogyakarta, berusaha mewujudkannya melalui apresiasi puisi, termasuk memperingati Hari Kartini.

Dalam acara malam puisi nanti, MMPI akan melibatkan delapan srikandi Indonesia untuk membaca Indonesia le-\vat puisinya. Mereka bebas membaca puisi karya mereka sendiri dan mengekspresikannya pada malam itu.

Ada empat pejabat publik yang akan membaca puisi nanti, yakni Bupati Bantul Suryawidab, Bupati Gunung Kidul Badingah, Wali Kota Tanjung Pinang Bintan SuFyatati A Manan, dan Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu.

Selain itu, perempuan-perempuan penyair Yogyakarta juga turut serta dalam malam puisi ini, seperti

Abidah El Khalieqy, penyair yang telah melanglang buana dengan karya terkenalnya adalah Perempuan Berhitung Surban. “Nanb yang baca semuanya perempuan, karena malam pembacaan puisi kali ini sekaligus memperingati Hari Kartini,” ucap Dono.

Malam pembacaan puisi dengan tajuk Perempuan Membaca Indonesia akan diselenggarakan di Gedung Tearrikal UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 23 April, nanti. Selain itu, acara juga akan dimeriahkan pentas musikalisasi puisi yang akan dibawakan beberapa seniman Yogyakarta.

MMPI, dalam malam Perempuan Membaca Indonesia, ingin sekaligus memperkaya khazanah pengetahuan dan apresiasi seni, khususnya seni sastra dan puisi. “Karena kita melihat akhir-akhir ini puisi dilupakan. Lebih banyak yang beralih ke sastra novel dan lainnya,” ucap Dono. Ia menambahkan ada ratusan bahkan ribuan karya puisi para seniman yang tidak terapresiasi sehingga karya-karya mereka lapuk dan hilang.

Budayawan yang akan turut hadir dalam acara ini adalah Hamdi Salad, Aly Musrifa, dan Otto Sukatna. “Mereka adalah sastrawan berbakat,” imbuhnya. Juga masih banyak lagi sastrawan Yogyakarta akan hadir. (M-l)miweekend@mediaindonesia.com

Puisi Mewarnai Peringatan Hari Kartini

Standard

Dimuat di: http://www.lpmarena.com/berita/regol/142-puisi-mewarnai-peringatan-hari-kartini.html

Keresahan dan keprihatinan para seniman yogyakarta akan puisi-puisi yang semakin tidak dikenal oleh para generasi muda saat ini.

Yani Sapto Hudoyo

Atas hal tersebut, MMPI (Mari Membaca Puisi Indonesia) mengadakan acara pembacaaan puisi dengan tajuk  “Delapan Kartini Membaca Indonesia” dalam rangka memperingati hari kartini. Sabtu (23/04/11). Acara ini terselenggara atas kerjasama dengan UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, teater ESKA dan Black Stone Coffee.

Acara ini dimulai jam 19.30 di teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga. Pembacaan puisi ini ternyata banyak peminatnya hingga ruang teatrikal penuh. Bahkan panitia menyediakan LCD untuk penonton yang di luar teatrikal karena teatrikal tidak dapat menampung penonton lagi. Acara ini juga dihadiri oleh mantan rektor UIN Sunan kalijaga, Amin Abdullah beserta istri.

Acara dibuka oleh pembina teater ESKA, Labibah menurutnya kartini ialah refensi perempuan bangsa Indonesia, “perempuan adalah ibu peradaban bangsa, jika ingin peradaban bangsa ini terhormat maka berbuat baik dan hormatilah perempuan yang ada disekitarmu,”  ungkapan pembuka itu disambut dengan riuh tepuk tangan dan sorak sorai dari penonton yang memenuhi ruangan. Lalu Giyana, salah satu anggota MMPI naik ke panggung membawakan sebuah lagu berjudul “Kau Ada Untuk Bangkitkan Semangatku”.

Setelah itu acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi diawali oleh anggota DPRD Yogyakarta, Esti Wijayanti dengan puisi berjudul “Kembalikan Indonesia” buah karya Taufik Ismail dan “Perempuan-Perempuan Perkasa” karya dari Hartoyo Endang Jaya. Setelah itu puisi dibacakan oleh Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu dengan puisi “Ibu” karya D. Dzawawi Imron dan “Sajak Sebatang Lisong” karya Rendra, kemudian oleh Yani Sapto Hudoyo yang membacakan puisi karya Otto Sukatno. Lalu dimeriahkan dengan puisi kocaknya Walikota Tanjung Pinang, Suryatati A. Manan berjudul “Janji-janji, Lelaki, Kemabli ke Laptop dan Janda”.

Kemudian acara tersebut diselingi oleh Giyana dengan membawakan lagu “petualangn awan”. Dilanjutkan lagi pembacaan puisi  oleh penulis cerita Film Perempuan Berkalung Sorban, Abidah El Khaliqi dengan puisi-puisi dari karya bukunya yang berjudul “nirzuna”. Dilanjutkan Nur Wahidah Idris dengan puisi karyanya berjudul “Dari Kesambi”,“Hujan di bumi yang mati” dan “skeptis”. Ditutup oleh mantan artis sinetron dan presenter yangs ekarang ini lebih memilih ke dunia kepenulisan, Evi Idawati dengan puisi “Kapak rindu” dan “Kabar tentang Yogyakarta”

KEDAI KOPI DAN IDENTITAS BUDAYA

Standard

Oleh:  Hamdy Salad

Hamdy Salad

Salah satu keramahan dan kebhinekaan Yogyakarta, bisa jadi telah maujud melalui kedai kopi. Bayangkan saja, dalam kurun lima tahun terakhir ini, puluhan kedai kopi didirikan. Dan hampir semuanya sengaja dirancang sebagai wahana berliburnya kepengapan hidup kawula muda, kaum pelajar dan mahasiswa.

Memang, di satu sisi, fenomena itu merupakan bagian yang tidak mudah dilepaskan dari keberlangsungan proses-proses akulturasi budaya. Namun, di sisi lain, menyiratkan juga keterjebakan kawula muda  ke dalam jeruji pemikiran praksis dan instan. Lingkaran kedai kopi nyaris terhempas dari realitas kehidupan sehari-hari. Terkesan jauh dari wacana imajinasi dan intelektualitas yang berkelindan dengan soal-soal dinamika zaman.

Berbeda dengan pemaknaan kedai kopi sampai awal 90an, yang dijadikan alternatif kawula muda (mahasiswa) untuk diskusi, dan memecahkan masalah sosial budaya. Keberadaan kedai kopi kini lebih dirujuk sebagai bentuk ekspresi gaya hidup. Selingkar meja kursi di kedai kopi kian pudar dari anasir kesatuan dalam keragaman. Tapi justru sebaliknya, memiliki daya pikat baru untuk mempertebal keseragaman sikap dan perilaku. Menjadi sarana pertukaran citra, sekaligus penyambung rasa bahagia untuk menghindar dari berbagai persoalan bangsa.

Belenggu dan Kebebasan

Hampir setiap malam selama tujuh hari, kedai-kedai kopi di pinggiran kota Yogyakarta, dipenuhi kawula muda yang berusaha keluar dari belenggu. Dan bermimpi menemukan kebebasan diri melalui pesta sederhana. Membuka Laptop, sembari ketawa-ketiwi  mendengar musik dan lagu, curhat cinta dan kenangan masa lalu yang hampir hilang dari ingatan.

Andai tengarai di atas bukan sekedar asumsi, pamaknaan kedai kopi memang jauh berbeda dari sejarahnya. Sebagai dicatat dalam lembaran buku sosiologi, hampir di setiap kota besar dunia, kedai-kedai kopi dibagun dengan tujuan yang hampir sama. Memberi ruang budaya bagi para pemikir dan penghayat kehidupan untuk saling bertemu, dan berbincang segala sesuatu yang tidak didapat dari kampus dan ruang sekolahan. Karena itu, kedai kopi bukan saja dikenal kalangan proletar dan kaum borjuis, tapi juga menjadi lebel kebebasan berpikir bagi kaum intlektual dan seniman.

Namun tampaknya, sejurus dengan arus globalisasi dewasa ini, makna kedai kopi memang sudah berubah. Sejak ditemukan grinder sebagai mesin penggiling untuk mencampur kopi dengan bahan lain seperti kakao, coklat, latte, wijen dan sebagainya, fungsi-fungsi sosial kedai kopi kian melebar. Menjadi bagian denyut demokrasi yang bersifat plural dan hiterogin, bahkan multikultural. Sementara dari sisi berbeda, kedai kopi pun telah dikemas sedemikian rupa sebagai bagian dari bisnis hiburan. Menjadi medan konstruksi budaya instan yang menyatu dengan ranah konsumerisme, modifikasi gaya hidup, dan fesen-fesen kehidupan kontemporer.

Tradisi dan Spiritualitas

Demikian halnya kemarakan kedai kopi di Yogyakarta dalam kurun terakhir ini. Fenomena sosial kawula muda di kedai-kedai itu, barangkali memang perlu dijadikan bahan refleksi budaya. Baik refleksi dalam konteks didaktis, yang terkait dengan pola pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi maupun dengan relasi-relasi kultural yang melingkupi. Sebab bisa jadi, perkembangan tradisi dan budaya kontemporer di kota tercinta ini, sudah mengambang di arus global, dan mulai tercerabut dari akar-akar kearifan lokal.

Padahal semestinya, fenomena kedai kopi dapat dielaborasi sebagai spirit baru dalam ranah kehidupan masyarakat di Yogyakarta. Menjadi pelaju keterbukaan dan pertukaran informasi dari keberagaman nilai sosial, tradisi dan budaya. Sehingga setiap komponen bangsa di kota ini dapat berdampingan, dan berbaur dalam dinamika kesetaraan.

Dinamika kota termaksud, setidaknya dapat  dilihat  melalui popularitas tokoh-tokoh, dan kontribusinya dalam percaturan kebangsaan. Hampir setiap generasi lahir, tumbuh dan berkembang gagasan-gagasan baru yang menghentak, menembus batas wilayah lokal, tanpa meninggalkan semangat dan jiwa budaya yang membesarkannya.

Dari sisi berbeda, Yogyakarta dengan keraton sebagai pusatnya, telah memberi pengaruh kuat untuk saling memahami, dan menghayati aspek-aspek kosmologis dalam kehidupan bersama. Dengan sendirinya, identitas budaya semakin kaya, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tradisi spiritual dan keagamaan.

Latar sosio-kultural di atas, telah dinyata sebagai pendorong lahirnya beragam ekspresi, warna dan karakter budaya Yogyakarta. Sehingga iklim kreativitas menjadi subur dan kompetitif. Saling memicu dan memacu pemberdayaan masyarakat dalam proses kehidupan berbangsa maupun bernegara. Akan tetapi, bayangan semacam itu mesti direnung kembali, teutama jika dikaitkan dengan maraknya kedai-kedai kopi. Sebab bisa jadi, predikat Yogyakarta akan bertambah satu lagi, sebagai kota para peminum kopi. **

 *) Hamdy Salad, penyair, dosen Creative Writing

Fakultas Bahasa dan Seni UNY.